Rezim Metafor
undefined
undefined
Baru saja aku selesai membaca ulang The Age of Mechanical Reproduction-nya Benjamin. Sebaris frasanya “. . .rasa kesetaraan universal benda-benda” aku rasa benar-benar menyentakan dan menjungkalkan seni dari kursi estetiknya. Membawanya pada himpunan benda-benda sehari-hari yang nilainya ditentukan oleh fungsi instrumentalnya dan harga tukarnya. Lalu ke mana cita-cita idiil dalam seni mesti ditanamkan? Kesenian telah dipecahkan cangkang luarnya dan dirogoh jantungnya oleh pencapaian tekhnologi. Hal ini mengingatkan pada penelanjangan drama dalam naskah Catastrophe, Bekcett.
Suatu malam, kira-kira dua minggu lalu, sebuah lakon drama monoplay dipanggungkan. Panggung dengan konsep halaman dipenuhi benda-benda di luar ukuran normal: buku-buku raksasa – selain kamar penjara yang cukup disimbolkan – . Seorang aktor yang mengingatkan pada sosok berviolinnya Chagall bergerak karikatural di atas panggung. Tekhniknya bersalin-salin peran dan berulang-ganti kostum di atas panggung dengan lejas (mengesankan rangkaian montasial), serta sapaan-sapaannya pada penonton seperti hendak memaksa Brecht hadir malam itu. Tapi tak. Penelanjangan macam itu bukan saja telah dilampaukan Catastrophe, bahkan telah menjadi tekhnik klise dalam lawakan-lawakan Srimulat untuk memaksa penonton tertawa.
Brecht tak mewariskan tekhnik-tekhnik terapan macam itu. Namun landasan yang menumpu penciptaan tekhnik-tekhnik itu, yakni, politik estetik. Pukulan polemis yang selain menyasar rezim naturalis juga (yang paling utama) menghantam ketaksadaran penonton di hadapan pemanggungan. Hal inilah yang dibutuhkan lapangan kesenian saat ini: Politik estetik.
Lapangan kesenian saat ini, khususnya sastra, tengah bergelung dalam tenung metafora. Hal apa yang lebih menyerupai tekhnik menyelubungi atau menyamarkan segala hal yang dikatakan. Tentu saja tekhnik artistik yang ditumbuhkan oleh kondisi-kondisi keterancaman ini –dengan cara lain adalah tekhnik mengatakan tanpa mengatakan – telah salah waktu.
Oleh karenanya kaji seni pun mengalami ketakcocokan ketika menghadapi bentuk-bentuk seni macam itu. Alih-alih membongkar selubung, pengkajian berjalan terlalu jauh, menempuh wilayah-wilayah sosial-politik sembari melalaikan selubung lain yang nyata-nyata telah memanipulasi material-material artistiknya. Tabiat pengkajian yang tak insyaf akan kehadiran rezim estetik tertentu yang menguasai tekhnik produksi artistik hingga cara pembacaan.
Menimbang tabiat pengkajian macam ini, Nirwan Dewanto (Di Seberang Seni, di Seberang Kaji), berlandas pada argumentasi yang menyerang kelatahan global terhadap pluralisme, mengajukan formalisme sebagai antinya. Pilihan formalisme ini juga ia basiskan pada kondisi-kondisi sosial masyarakat – segi kehidupan – yang menurutnya masih diliputi takhayul, kelisanan, dan irrasionalitas.
Benar, irrasionalitas masih belum tuntas terangkat dari lubuk kehidupan sosial kita. Tapi, benar, jika modernitas telah lama bertunas bahkan telah sanggup mengubah sejumlah segi kehidupan sosial. Dan pun benar adanya bahwa kondisi-kondisi post-modern telah hadir di sini. Dengan segala benturan inilah formalisme kehilangan gerak majunya.
Formalisme, bagaimanapun, belaka mengindahkan sisi dalam seni. Mengabaikan relasi-relasi yang terbentuk pada realitas material dimana seni bukan hanya sebagai suatu produk artistik, tapi juga produk komoditas. Artinya, prinsip formalisme telah memisahkan relasi tekhnik artistik dengan tekhnik produksi dan ideologi yang melandasnya. Mengurung seni di dalam seni dan mungkin sedikit dibubuhi aksen romantik dengan mengijinkan kehadiran pengarang sebagai suatu biografi terbuka. Agar sedikit mengesankan hadirnya kehidupan barangkali atau mungkin mengesankan kemelimpahan kehidupan individual – Sungguh, tak aneh jika ND yang penganjur formalisme juga pembela lirisme romantik – .
Namun, tentu saja formalisme merupakan rumah yang aman dan nyaman bagi kaki tangan rezim metafor, para pengikut setia Mallarme yang menimba ekperimentasi bentuk (sayang sekedar bentuk) lebih lanjutnya kepada sastrawan-sastrawan Amerika Latin. Padahal rezim metafor inilah yang mestinya diruntuh. Bahwa tekhnik ini telah begitu rupa menyandera kesadaran khalayak seni dengan kandungan kelatenan yang dipernyanakan padanya. Kelatenan ini telah sangat membius, seolah benda keramat yang ditaruh di balik selubung metafor.
Aku kira gagasan formalisme yang diseru pada hari ini sama halnya dengan pengabaian terhadap pencapaian tekhnik (re)produksi yang telah begitu rupa memisahkan seni dari relasi-relasi tradisionalnya. Kritik yang menghujam ke dalam jantung praktik komodifikasi seni dan siasat mengintimkan pasar dengan konsumen melalui pluralisme oleh karenanya kehilangan manfaat jika melalaikan bentuk artistik tertentu sebagai material dasarnya. Sama sekali sia-sia desakan keras mengubah cara kaji seni jika tanpa disertai upaya keras mengubah bentuk artistik dalam seni.
http://koran-marjinal.blogspot.com/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
thank for comment!!!